Pagi tiba, agak samar-samar kudengar beberapa teman berbincang dengan tim sebelah yang lagi sarapan dan menggulung tenda mereka. Kami membagi tugas, ada yang masak, mandi, packing siap-siap mendaki. Selesai sarapan, packing dan pemanasan kami harus segera naik. Selesai pemanasan pukul 07.30 kami menunggu local guide tiba. Karena sesuai janji Kadus salah satu anggota Pokdarwis akan menyusul untuk memandu kami. Benar saja terdengar suara motor dari kejauhan dan seorang pemuda tiba. Namanya Bang Bambang (nama samaran pemberian Kuntet). Hari kedua kami harus sudah sampai puncak. Memang normalnya begitu. Durasi 8-10 jam sudah berada di ketinggian 1471 mdpl. Jalurnya lumayan dan untuk pemula ini tergolong berat dibandingkan gunung lain. Jalur landai hanya ditemukan satu dua kali saja. Jika aku tidak keliru gunung Bawang ada 5 pos perhentian. 

Pos 4 Gunung Bawang

Pos 1 tempat kami menginap di malam pertama dengan air melimpah karena di bawahnya mengalir sungai dengan bebatuan, bahkan untuk mandi pun kita bisa. Pagi itu kami sempatkan mandi, awalnya kupikir akan menggigil kedinginan ternyata tidak. Segar sekali. Impian kecil saat aku fokus bersama Omar di rumah, aku selalu memimpikan ingin mandi di sungai, menikmati suara air mengalir di antara bebatuan. Alhamdulillah Ya Allah sudah terkabul..

Pos 2 kita akan melewati pipa air dan pondok warga lokal menunggu durian. Nah lucunya saat aku akan menanjak menuju pos 2, tepatnya di sebelah pondok durian, langsung sadar diri kok bisa-bisanya aku kembali naik gunung ini lagi..padahal sudah tau jalurnya itu seperti naik Bukit Raya di hari kedua, nanjak terusssss hampir tidak ada landai. Di pos 2 masih bertemu sungai dan bekas pondok dari kayu yang sudah roboh. Sebelum tiba di pos 2 kita akan bertemu sebentar dengan hutan yang lumayan terbuka untuk melihat pemandangan sekitar.

Pos 3 kami masih bertemu sungai bebatuan untuk istirahat. Oh iya, saat di pos 2 kami melewati tim yang tadi malam ikut menginap di pos 1. Mereka pagi itu jalan duluan untuk naik tapi harus berhenti lama di pos 2 untuk istirahat. Saat kami mendaki, mereka sudah terpecah menjadi 2 tim. Di antara pos 3 dan 4 kita akan bertemu sungai lagi dan tempat lumayan lapang dengan batuan besar-besar. Spot ini kami pilih untuk makan siang. Berhenti makan siang tidak terlalu lama berhubung lauk rendang bekal kami tinggal dipanaskan saja dan nasi sudah dimasak. Mendaki kali ini tidak ada mie instan apalagi makanan kaleng. Semua masakan sudah dipersiapkan dengan baik. 😁

Pos 4 adalah pos yang sudah berada di ketinggian 1000 an mdpl. Jangan tanya jalur menuju pos 4, hampir sepanjang jalur kami mendadak soleh dan solehah, menyebut Allah terus menerus. Aamiin Ya Allah. Pos 4 vegetasinya hampir seperti puncak, lapang dan pohonnya mulai kecil-kecil. Beberapa pohon daunnya berwarna pink. Indah sekali.

Pos 5 sudah mendekati puncak, vegetasinya sudah berupa hutan lumut. Basah dan lembab, jalurnya menyempit. Di dekat sini akan kita temui 2 jalur saat turun yaitu jalur Madi dan Jalur Lembah Bawang. Kami melalui jalur lembah bawang. Tak heran saat di puncak kami bertemu beberapa tim lain yang naik melalui jalur Madi.

Menuju pos 5 Gunung Bawang

Tiba di puncak kondisi berkabut. Kami tiba pukul 4 sore. Lumayan, ritme mendaki masih sama dengan tahun 2018 silam, 8 jam pendakian bedanya dulu kami mendaki dari desa bukan dari pos 1. Selisihnya kira-kira 45 menit. Cuaca sedang tidak bersahabat. Aku sudah menduga karena saat di desa aku melihat awan terus-terusan menutupi puncak. Senyum kami merekah meskipun pemandangan yang diharapkan tidak nampak di depan mata. Jika cuaca cerah beberapa perkampungan daerah Bengkayang akan terlihat. Hari mulai berangin dan rintik. Beberapa tim lain sudah bergelung di dalam tenda mereka masing-masing. Kedinginan.

Beberapa saat setelah beristirahat, kami bersiap-siap akan membuka tenda, tapi sayang angin kencang datang dengan titik-titik air. Rio dan Bang Bambang inisiatif memutuskan menginap di bawah puncak saja. Ada spot dekat dengan sumber air dan agak ke bawah, di daerah hutan lumut menuju puncak yang kami lewati tadi. Kami sepakat dan mulai bergegas untuk turun. Meskipun tim-tim lain menginap di puncak Bawang tapi bagi kami itu akan menguras tenaga dan beresiko sekali dengan cuaca yang ada. Sebagai gambaran puncak bawang sangat terbuka, datar dan luas. Kami sering bercanda menyebutnya seperti lapangan bola. Namun saat cuaca berangin itu sangat beresiko menginap di atas. 

Kami malam itu menginap di pondok kumbang, begitu warga lokal menyebutnya. Pondok tersebut sudah ada lama sebagai tempat warga menginap di gunung mencari kumbang. Sangat dekat dengan air dan tempat yang pas untuk membuka shelter. Kami bergegas mendirikan tenda, menyalakan api untuk menghangatkan badan serta masak. 

Angin kencang dan hujan terus datang hingga hari mulai gelap. Para perempuan sibuk ambil bergantian berganti pakaian kering dan masak, laki-laki sibuk memasang tenda dan memastikan tempat istirahat malam ini aman dari angin dan air hujan.

Setelah semua selesai, kami makan malam sambil berbincang nostalgia cerita masa lalu dalam pondok kumbang. Masa lalu seseorang yang kami dengarkan dengan serius sesekali bercanda sambil minum kopi yang tidak hangat lagi. Lama sekali aku merindukan masa-masa seperti itu, mengobrol dengan teman-teman satu pendakian, menceritakan apa saja, melupakan sejenak kesibukan pekerjaan masing-masing. Meskipun otot kaki terasa pegal, dingin menusuk tulang tapi senyum mengembang. Yang kami nikmati adalah momen kebersamaannya.

Malam itu kami tenggelam dalam sleeping bag masing-masing. Suara deru angin masih sesekali menghantam. Tak bisa kubayangkan bagaimana tenda tim lain di atas sana? Tim di belakang kami sudah sampai mana ya? Ah sudahlah, mata sudah mengantuk. Waktunya tidur untuk recharge energi buat besok naik sebentar saat pagi ke puncak, trus turun untuk pulang.


Bersambung...