Perjalanan mendaki gunung di
hutan hujan tropis memang bukan kali ini saya lakukan. Namun untuk yang paling
tinggi dan paling jauh perjalanannya tak salah saya memperlakukan sedikit spesial
untuk Bukit Raya. Walaupun perjalanan kali ini untuk menemani teman-teman dari
pulau seberang yang bertujuan untuk mengejar Seven Summits Indonesia yang salah satunya adalah Puncak Kakam
(2278 m dpl). Cerita lain untuk perjalanan kami kali ini adalah kami mendaki
bertepatan momen Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Perjalanan awal kami bertemu di
Bandar Udara Sintang sebagai tempat pertemuan (meeting point) mereka menjejakkan kaki di bumi Kalimantan. Lalu perjalanan
selanjutnya menuju Nanga Pinoh atau sebutan khasnya sebagai Kota Juang
Kalimantan Barat. Bermodal bis kecil tua bermuatan 14 orang kami menuju Kota Juang
dengan perjalanan sekitar 5 jam. Tiba di Kota Juang kami harus mengurus
penginapan untuk malam ini dikarenakan perjalanan besok harus dimulai pagi hari
menggunakan speedboat. Setelah mendapat
penginapan di posisi strategis di antara persimpangan dan tengah Kota serta
tidak jauh lokasinya dari dermaga speedboat,
kami pun siap untuk menikmati malam di Kota Nanga Pinoh. Beberapa dari kami
menikmati makan malam di tengah Kota sembari berbelanja untuk keperluan
perjalanan selanjutnya.
Pagi di Melawi mengantarkan kami
menuju dermaga speedboat untuk
melanjutkan perjalanan ke Serawai. Pengalaman menaiki speedboat dengan kecepatan yang menegangkan cukup memacu adrenalin
karena dengan muatan penuh akan manusia dan barang. Di tengah perjalanan kami
harus mengisi bahan bakar speedboat
dan istirahat sebentar. Pemandangan air yang sudah tercemar karena tambang ilegal
juga mewarnai perjalanan selain daripada perkampungan-perkampungan kecil di
sepanjang sungai dan beberapa sarang lebah madu hutan yang dari jauh terlihat
bergelantungan di dahan pohon.
|
Perjalanan menuju Serawai. Doc: Bg Elyudien dan Mas Utut |
Setiba di Serawai kami harus makan
siang, mengurus pemberitahuan kegiatan dan memindahkan barang serta
perlengkapan pendakian ke transportasi selanjutnya, yaitu
long boat atau orang setempat menyebutnya perahu klotok. Perahu klotok
(
long boat) bermuatan 10 orang
ditambah barang. Melanjutkan perjalanan menggunakan perahu bermesin ini akan
menyita waktu yang lama seandainya keadaan air sungai kering saat musim
kemarau. Perjalanan yang normalnya sekitar 5 jam pada saat itu kami lewati
lebih lama. Tujuan utama yaitu Jelundung, meleset menjadi Barasnabun
dikarenakan
long boat yang kami naiki
beberapa kali menabrak bahkan berputar arah melawan arus ditambah lagi kipas
mesin yang patah. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Bahkan saya yang pernah
melakukan pendakian melalui jalur air juga belum pernah mengalami
tabrakan-tabrakan seperti itu. Barasnabun yang terletak satu jam perjalanan
lagi menuju Jelundung menjadi tempat kami istirahat malam itu.
|
Perjalanan menuju Jelundung menggunakan longboat. Doc: Bg Elyudien |
Rencana untuk tiba di Rantau
Malam pada malam hari akhirnya berubah. Kami tiba di Desa Rantau Malam pada
pagi hari. Beberapa teman menyarankan untuk merubah nama Desa menjadi Rantau
Pagi :D Lalu kami langsung melaksanakan upacara adat untuk keselamatan para
pendaki. Ritual adat yang harus mengorbankan ayam untuk diambil darahnya
tersebut akan didoakan oleh para tetua bersama Kepala Adat. Kemudian para
pendaki akan dipasangkan gelang dari bahan serat kayu di tangan sebelah kanan,
dimana sebelumnya gelang tersebut harus direndam di dalam darah ayam. Setelah menyelesaikan
prosesi adat istiadat, pendaki masih melanjutkan perjalanan menuju pintu rimba
yaitu Koronghape. Disebut Koronghape karena ini merupakan tempat terakhir bisa
mendapatkan sinyal operator hape.
|
Foto bersama Kepala Adat. Doc: Bg Elyudien |
Pendakian hari pertama memberikan
kesan yang menghebohkan bagi teman-teman yang naik. Dikarenakan kami diserang
pacet (keluarga dari lintah yang menghisap darah, Haemadipsa sp). Beberapa teriakan kecil dan gumaman kekesalan akan
hisapan hewan kecil itu kadang mewarnai perjalanan. Senjata berupa tembakau,
autan hingga minyak kayu putih kadang sedikit membantu. Jalur pendakian di hari
pertama tergambar melandai namun agak panjang dan dibayangi serangan pacet yang
berwarna coklat gelap. Malam pertama pendakian kami tetapkan di Pos Hulu
Rabang. Pos ini memiliki air yang melimpah dan tempat yang paling luas diantara
pos-pos lainnya. Malam pertama dalam pesona malam hutan Kalimantan mengantarkan
kami dalam tidur yang nyenyak setelah perjalanan yang cukup panjang dengan alat
transportasi yang bervariasi.
Hari kedua di pendakian kami
lanjutkan dengan medan pendakian cukup rapat namun masih bisa dibaca apalagi
dengan bantuan para porter. Hari kedua dengan medan 90% mendaki sepanjang hari
cukup menantang. Hanya sedikit melewati turunan. Malam kedua kami menginap di
ketinggian
+ 1300 m dpl, yaitu Pos Soa Badak. Sekitar
+ 100 meter
dari pos tersebut sudah berdiri tapal batas antara Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah berupa tugu berbentuk tiang persegi panjang. Hari kedua
spesies pacet yang muncul mulai bervariasi ditambah satu species berwarna hijau berloreng
(
Haemadipsa zeylanica) yang mana
ketika menempel akan terasa sakit seperti terbakar. Alhamdulillah, saya belum
pernah digigit pacet species yang satu ini.
|
Haemadipsa Zeylanica (pacet paling kanan) |
Hari ketiga pendakian merupakan
summit attack, medan yang dilalui paling
terjal diantara hari-hari sebelumnya. Melewati pinggiran tebing, hutan lumut
dan punggungan yang sempit memberikan sensasi yang luar biasa. Keterjalan medan
pendakian di hari ketiga sudah cukup memberikan pengalaman yang luar biasa,
berita baiknya di sepanjang jalur menuju puncak tidak akan kita temukan pacet. Momen
tiba di puncak merupakan momen paling membahagiakan bagi pendaki. Setiba di
puncak teman-teman mengabadikan momen bersama, lalu makan siang di atas puncak.
Awan hitam berarak menyelimuti saat kami bersiap ingin turun. Sedia ponco
sebelum hujan, kami bergegas turun kembali menuju pos Soa Badak. Tiba di pos
Soa Badak saat malam sudah tiba sedikit menyulitkan namun akhirnya kami
berkumpul lagi menikmati malam ketiga di Gunung Bukit Raya dengan kegembiraan
sudah mencapai bonus yaitu puncak.
|
Hutan Lumut. Doc: Mbak Vera |
|
Bersama lumut lucu di hutan lumut. Doc: Mbak Dewi |
|
Puncak Kakam, Kalimantan Tengah, melalui Jalur Kalbar, 2278 m dpl. Doc: Mas Utut |
Pagi hari setelah sarapan
spagethi, kami bersiap-siap untuk kembali melanjutkan perjalanan turun. Membalas
perjalanan naik yang banyak mendaki, jadi perjalanan kali ini banyak turunan. Kami
kembali menginap di Hulu Rabang. Di tengah perjalanan sempat singgah di pos
Linang untuk makan siang. Setiba di Hulu Rabang beberapa dari kami saling
bertukar cerita sambil melepas penat bahkan ada yang saling memijat satu sama
lain. Satu dari cerita di malam itu yang paling menginspirasi yaitu mendengar
cerita dari salah satu Seven Summits Indonesia, Bob Sumoked. Beliau kebetulan
mendaki dalam satu waktu namun beda pos saat di pendakian. Bertemu sebentar
hanya di Puncak, lalu bertukar pengalaman dengan teman-teman yang lain yang
sedang menapaki puncak ketiga, kelima bahkan keenam. Om Bob, begitu beliau
disapa, mendaki Gunung Bukit Raya sebagai puncak terakhirnya untuk menjadi
seven summiter. Malam terakhir terasa lebih panjang dengan lelah yang
terbayarkan.
|
Pos Hulu Rabang sebelum perjalanan turun. Doc: Bg Elyudien |
Hari terakhir perjalanan turun diselingi
canda tawa. Beberapa guyonan keluar dari mulut kami. Di tengah perjalanan turun
kami bertemu teman-teman dari Trash Bag Community yang sedang melakukan
perjalanan naik di hari pertama mereka. Kebetulan salah satu dari mereka adalah
senior saya. Setelah berkenalan dan berfoto bersama (khusus cewek :P) kami pun
berpisah jalan. Kami keluar melalui pintu rimba dan merasakan sengatan matahari
secara langsung dan melanjutkan perjalanan menuju Rantau Malam menggunakan ojek
melewati medan yang terjal kembali kami rasakan.
Malam ini sedikit berbeda dengan
malam-malam sebelumnya, sebelumnya kami tidur ditemani suara-suara hewan di
dalam hutan, kali ini kami tidur di Desa Rantau Malam ditemani penduduk yang
berbaik hati mempersilahkan rumahnya dijadikan tempat menginap kami. Keesokan harinya
kamipun kembali melanjutkan perjalanan pulang dengan rute dan transportasi yang
sama dengan sebelumnya. Sedikit berbeda saat tiba di Pinoh, kami harus naik
truck menuju terminal bis. Kami harus naik bis Nanga Pinoh – Pontianak malam ini.
Malam terakhir perjalanan panjang mendaki Gunung Bukit Raya kami habiskan dalam
dinginnya AC bis selama kurang lebih 10 jam.
Terima kasih kami ucapkan kepada
teman-teman yang mendaki. Pulau Kalimantan menunggu kedatangannya lagi. Salam pacet!
0 Comments
Post a Comment